Dalam Rangka menyambut bulan suci Ramadhan ini,Postingan kali ini adalah hasil karya tulisan dari teman saya yaitu Akbarudin Sucipto, S. Sos. I yang merupakan Pembina Lembaga Kebudayaan Amparanjati sagotra ( Komunitas amparanjati Cirebon ), Pengasuh siaran Macapat Babad Cirebon RRI Pro 1 Cirebon AM 864 KHZ dan FM 97.5 MHZ setiap Kamis malam Jum`at Pkl. 20.00 sd 22.00 WIB. Koordinator bidang Kepustakaan dan Kepurbakalaan Kraton Kaprabonan Cirebon. Salah satu Peraih Lesbumi Award 2012 kategori Aktifis Penggiat Seni Tradisi dan Budaya Lokal. Sekarang bekerja sebagai Anggota Komisi Informasi Kota Cirebon dan sedang mengambil Program Megister Ilmu Komunikasi di Unisba Bandung.
DAKWAH DAN POLITIK SUNAN GUNUNG
JATI
REFLEKSI KULTURAL JELANG
IJTIHAD BERJAMA’AH MEMILIH PEMIMPIN
Ingkang sinuhun kanjeng susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama awlya
Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah SAW, Panetep Panatagama Ing
Tanah Sunda (Sulendraningrat, 1968 : 16). Demikian gelar yang diterima oleh
Syaikh Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah atau
Sunan Gunung Jati ketika dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran
Cakrabuana.
Penobatan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati oleh Pangeran
Cakrabuana merupakan tonggak awal lahirnya tatanan baru di Pakuwon Carbon, yang
lalu kemudian berubah jadi kesunanan (kerajaan Carbon Nagari). Kemasyhuran dan begitu melekatnya
nama Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah di hati masyarakat
Carbon dan Tatar Sunda atau Jawa Barat pada umumnya, ini disebablakan beliau
adalah seorang yang sangat berjasa dalam proses penyebaran Islam di Tatar
Sunda. Dominasi peran Sunan Gunung Jati inilah dimungkinkan menjadi pintu masuk proses penyebaran Islam di
Tatar Sunda menjadi optimal, sehingga
agama Sunda Wiwitan atau Purba Tisti Purba Jati Sunda yang merupakan
agama asli orang Sunda tersisihkan digantikan oleh syi’ar Islam yang menerangi
cahaya kaum muslimin tanah Sunda (Dadan Wildan).
Raja dan Ulama
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di wilayah Carbon dan tatar Sunda
pada umumnya. Sunan Gunung Jati
memainkan peran ganda. Disamping posisinya sebagai seorang ulama bahkan
mendapat gelar Waliyullah, dan mendapat gelar Sayidin Panatagama atau dalam tradisi
Jawa dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia (Lasmiyati, 1995 : 33-34), juga
memainkan peran sebagai seorang raja. Berangkat dari hal inilah Carbon yang semula hanyalah sebuah pedukuhan berubah
menjadi kasunanan.
Sepanjang perjalanan dakwah penyebaran islam di Carbon, dalam catatan beberapa ahli sejarah, Sunan
Gunung Jati juga memainkan
peranan yang sangat strategis, terutama keberhasilannya dalam melakukan
Islamisasi di wilayah kerajaan Sunda Galuh Pakuan Pajajaran.
Proses dakwah Islam yang dilakukan Sunan Gunung Jati, dilakukan dalam
kurun waktu yang sangat panjang. Dalam memainkan peran sebagai sosok Ulama,
Sunan Gunung Jati pada tahun-tahun pertama memulai tugas dakwahnya di Carbon,
berperan sebagai guru agama menggantikan kedudukan Syaikh Datuk Kahfi dengan
mengambil tempat di Gunung Sembung, Pasambangan (dekat Giri Amparan Jati),
hingga ia mendapat sebutan atau gelar Syaikh Maulana Jati/Syaikh Jati, lalu
diteruskan mengajar di dukuh Babadan (sekitar tiga kilometer dari dukuh
Sembung) hingga akhirnya diperluas medan dakwahnya sampai ke Banten.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang Raja (Susuhunan), Sunan Gunung Jati
memberlakukan pajak yang jumlah, jenis dan besarnya disederhanakan sehingga
tidak memberatkan rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan kerajaan Sunda Galuh
Pakuan Pajajaran (Sunardjo, 1996 : 31-32). Dalam posisinya sebagai raja inilah pengembangan
agama Islam melalui dakwah lebih di prioritaskan dengan menyediakan sarana
ibadat keagamaan dengan memelopori pembangunan Masjid Agung “Sang Ciptarasa”,
dan masjid-masjid jami’ di wilayah bawahan Carbon.
Secara politis tradisi pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Sunda Pakuan
Pajajaran yang biasanya diserahkan setiap tahun, sebagai bukti pengakuan Carbon
akan kedaulatan Kerajaan Sunda, dihentikan oleh Sunan Gunung Jati, sebagai simbol pernyataan berdirinya
Kasunanan Carbon. Dalam posisinya sebagai susuhunan inilah, Keraton Pakungwati
dijadikan pusat pemerintahan kerajaan yang berdasarkan Islam.
Dalam kapasitasnya sebagai raja pula, Sunan Gunung Jati yang memerintah di Carbon antara 1479-1568 M, atau selama 89 tahun
(Sunardjo, 1983 : 3). Wilayah kedaulatan
Carbon hingga 1530 M, sudah hampir separuh lebih dari propinsi Jawa Barat
sekarang. Penduduknya yang saat itu kurang lebih 600 ribu orang, masih sebagian
besarnya beragama non muslim. Pelabuhan-pelabuhan penting di wilayah pantai
utara Jawa Barat seperti; Banten, Sunda Kelapa, Lemah Abang dan Muara Jati,
seluruhnya sudah dapat dikuasai oleh Carbon.
Politik Pemerintahan Sunan Gunung Jati
Pada masa pemerintahan Sunan
Gunung Jati, pengembangan negeri Carbon disamping membangun sarana dan
prasarana kerajaan, juga banyak diambil kebijakan-kebijakan yang bersifat
politis sebagai sebuah proses alami lazimnya sebuah negara ketika akan
meneguhkan kedaulatannya. Serangkaian peperangan menghadapi
serangan-serangan dari para adipati bawahan kerajaan Sunda Galuh Pakuan
Pajajaran terjadi pula pada masa itu (Sunardjo, 1996 : 34-35). Pertempuran
pertama adalah pertempuran gabungan antara Carbon dengan Demak yang dipimpin
Fatahillah untuk merebut Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Portugis pada 1526.
Dalam pertempuran ini, tentara Carbon dan Demak memperoleh kemenangan.
Peperangan selanjutnya adalah dengan kerajaan Rajagaluh dan kerajaan
Talaga. Motif terjadinya peperangan lebih karena khawatir akan adanya ancaman
dari Prabu Cakraningrat (negeri Rajagaluh) yang akan menyerbu Carbon dibawah
pimpinan Arya Kiban. Sementara peperangan dengan Talaga lebih dikarenakan
kekhawatiran Arya Salingsingan (Talaga) bahwa Sunan Gunung Jati akan menyerang
Talaga sebagaimana yang dialami oleh kerajaan Rajagaluh.
Setelah berhasil membangun kedaulatan kasunanan Carbon, Sunan Gunung Jati
melebarkan sayap kekuasaannya dengan mendirikan kesultanan Banten. Putranya
yang bernama Pangeran Sebakingkin atau Maulana Hasanuddin dinobatkan menjadi
Sultan Banten yang pertama. Pada periode setelah berdirinya kesultanan Banten,
dengan bantuan Carbon berhasil menguasai Pakuan Pajajaran, ibukota kerajaan
Sunda, pada 13 Desember 1579. Hal ini dibenarkan juga oleh pendapat lain, yaitu
jatuhnya kerajaan Sunda itu diperkirakan pada tahun 1579 M (Sumadio, 1984 :
376). Sejak itulah kerajaan Sunda habis riwayatnya. Setelah peristiwa ini, di
daerah Jawa bagian barat muncullah beberapa pusat kekuasaan yang lebih kecil
dari kerajaan Sunda, yaitu Banten, Cirebon, Sumedanglarang dan Galuh (Nina
Lubis, 2000 : 241)
Dengan semakin kecilnya kekuasaan kerajaan Sunda, dakwah Islam yang
dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, makin menemukan titik terang dalam proses
penyebarannya. Sungguh pun terdapat informasi sejarah yang menunjukkan bahwa
islam telah menembus tatar Sunda sejak abad ke-7 M, tetapi proses Islamisasi
secara massal tampak baru pada abad ke-16 M. Dengan hadirnya Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1448-1568)(A. Mansur Suryanegara, 1995:
152). Bahkan dalam sumber lain yaitu Carita Parahiyangan akhirnya kerajaan
Sunda runtuh juga dalam masa pemerintahan Nusiya Mulya. Banyak daerah yang
semula dikuasai kerajaan Sunda kemudian satu persatu di rebut oleh tentara Islam,
akhirnya wilayah Sunda menjadi daerah kekuasaan Demak dan Cirebon (CP. XXV,
Atja 1968: 34).
Memahami dinamika perjalanan dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan
Gunung Jati, sepintas tidak akan menemukan hal-hal yang berbau kekerasan bahkan
pemaksaan. Dalam perspektif politik, Sunan Gunung Jati sangatlah jelas
memainkan standar ganda. Di satu pihak dalam kapasitasnya sebagai seorang
ulama, segala tindak-tanduk maupun tutur katanya sangat mungkin untuk berlaku
arif dan bisa menjadi suri tauladan, sebagaimana tersirat dalam
petatah-petitihnya atau pesan-pesan Sunan Gunung Jati “Den Welas asih ing sepapada”, “pemboraban kang ora patut anulungi”,
“ingsun titip tajug lan fakir miskin” dan pesan-pesan lainnya.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang Gusti Sinuhun (Raja), sangat mungkin
juga terjadi tindak politisasi, yang kesemuaannya ini lebih disandarkan kepada
adanya alasan untuk kebutuhan penyebaran ajaran Islam (Islamisasi) berdasarkan
sekte atau aliran tertentu. Hal ini terlihat dari tindak tidak lagi disetorkannya
upeti ke Pajajaran, perang melawan Portugis, Rajagaluh, Talaga, proses
“peradilan” Syaikh Siti Jenar dan menjadi kaburnya silsilah anak cucu Pangeran
Cakrabuwana atau Walangsungsang.
Dari latar inilah, sangat terlihat bagaimana sesungguhnya kebijakan-kebijakan
politik yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati menggunakan prinsip-prinsip
dakwah Islam dengan spirit “Rahmatan lil ‘alamin”, hingga memenuhi harapan
untuk untuk menuju Negara yang “Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghofur” bisa
terwujud dan menyatu dalam setiap langkah Sunan Gunung Jati ketika melakukan
penyebaran Islam di Tatar Sunda umumnya dan Carbon Nagari Khususnya.
Sosok Sunan Gunung Jati adalah gambaran pemimpin bagi masyarakat Cirebon.
Sejarah boleh saja tinggal kenangan dan catatan-catatan lama, namun memilih dan
melahirkan seorang pemimpin bukanlah kerja ringan dan sepele “enteng kecape abot sanggane, yen bodo kudu
weruh, yen kiyeng mesti pareng, yen pinter aja keblinger”. Itulah wejangan
leluhur masyarakat Cirebon bagi siapapun yang siap menjadi pemimpn. Selamat
berijtihad!
No comments:
Post a Comment